Rabu, 13 Januari 2016

Akuntansi Lingkungan



Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting atau EA) merupakan istilah yang berkaitan dengan dimasukkannya biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam praktek akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah. Biaya lingkungan adalah dampak yang timbul dari sisi keuangan mampun non-keuangan yang harus dipikul sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan.
Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United States Environment Protection Agency (US EPA) akuntansi lingkungan adalah:
“Fungsi penting akuntansi lingkungan adalah untuk menyajikan biaya-biaya lingkungan bagi para stakeholders perusahaan, yang mampu mendorong pengidentifikasian cara-cara mengurangi atau menghindari biaya-biaya ketika pada waktu yang bersamaan, perusahaan sedang memperbaiki kualitas lingkungan”.
Badan Perlindungan Amerika Serikat atau United States Environment Protection Agency (EPA) menambahkan lagi bahwa istilah akuntansi lingkungan dibagi menjadi dua dimensi utama. Pertama, akuntansi lingkungan merupakan biaya yang secara langsung berdampak pada perusahaan secara menyeluruh (dalam hal ini disebut dengan istilah “biaya pribadi”). Kedua, akuntansi lingkungan juga meliputi biaya-biaya individu, masyarakat maupun lingkungan suatu perusahaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sistem akuntansi lingkungan terdiri atas lingkungan akuntansi konvensional dan akuntansi ekologis. Akuntansi lingkungan konvensional mengukur dampak-dampak dari lingkungan alam pada suatu perusahaan dalam sitilah-istilah keuangan. Sedangkan akuntansi ekologis mencoba untuk mengukur dampak suatu perusahaan berdasarkan lingkungan, tetapi pengukuran dilakukan dalam bentuk unit fisik (sisa barang produksi dalam kilogram, pemakaian energi dalam kilojoules, dll), akan tetapi standar pengukuran yang digunakan bukan dalam bentuk satuan keuangan.
Sedangkan lingkup akuntansi lingkungan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama didasarkan pada kegiatan akuntansi lingkungan suatu perusahaan baik secara nasional maupun regional. Bagian kedua berkaitan dengan akuntansi lingkungan untuk perusahaan-perusahaan dan organisasi lainnya.
Pada dasarnya penjelasan mengenai konsep akuntansi lingkungan harus mengikuti beberapa faktor berikut, antara lain:
  1. Biaya konservasi lingkungan (diukur dengan menggunakan nilai satuan uang).
  2. Keuntungan konservasi lingkungan (diukur dengan unit fisik).
  3. Keuntungan ekonomi dari kegiatan konservasi lingkungan (diukur dengan nilai satuan uang/rupiah).
Konsep akuntansi lingkungan mulai berkembang sejak tahun 1970-an di Eropa. Pada pertengahan tahun 1990-an komite standar akuntansi internasional (The International Accounting Standards Committee/IASC) mengembangkan konsep tentang prinsip-prinsip akuntansi internasional, termasuk di dalamnya pengembangan akuntansi lingkungan dan audit hak-hak azasi manusia. Di samping itu, standar industri juga semakin berkembang dan auditor profesional seperti the American Institute of Certified Public Auditors (AICPA) mengeluarkan prinsip-prinsip universal tentang audit lingkungan (environmental audits).
Badan Lingkungan Hidup Jepang (The Environmental Ageency) yang kemudian berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup (Ministry of Environment) mengeluarkan panduan akuntansi lingkungan (environmental accounting guidelines) pada bulai Mei tahun 2000. Panduan ini kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2002 dan 2005. Semua perusahaan di Jepang diwajibkan menerapkan akuntansi lingkungan. Perusahaan – perusahaan besar Jepang mulai menempatkan posisi akuntansi lingkungan (environmental accounting) sederajat dengan akuntansi keuangan. Kini semakin banyak perusahaan di Jepang sudah menerapkan akuntansi lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan dan petunjuk yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Jepang.
Latar belakang pentingnya akuntansi lingkungan pada dasarnya menuntut kesadaran penuh perusahaan-perusahaan maupun organisasi lainnya yang telah mengambil manfaat dari lingkungan. Penting bagi perusahaan-perusahaan atau organisasi lainnya agar dapat meningkatkan usaha dalam mempertimbangkan konservasi lingkungan secara berkelanjutan.
Penggunaan konsep akuntansi lingkungan bagi perusahaan mendorong kemampuan untuk meminimalisasi persoalan-persoalan lingkungan yang dihadapinya. Banyak perusahaan besar industri dan jasa yang kini menerapkan akuntansi lingkungan. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan dengan melakukan penilaian kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya (environmental costs) dan manfaat atau efek (economic benefit).
Akuntansi lingkungan diterapkan oleh berbagai perusahaan untuk menghasilkan penilaian kuantitatif tentang biaya dan dampak perlindungan lingkungan (environmental protection).
Beberapa alasan kenapa perusahaan perlu untuk mempertimbangkan untuk mengadopsi akuntansi lingkungan sebagai bagian dari sistem akuntansi perusahaan, antara lain: memungkinkan untuk mengurangi dan menghapus biaya-biaya lingkungan, memperbaiki kinerja lingkungan perusahaan yang selama ini mungkin mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan keberhasilan bisnis perusahaan, diharapkan menghasilkan biaya atau harga yang lebih akurat terhadap produk dari proses lingkungan yang diinginkan dan memungkinkan pemenuhan kebutuhan pelanggan yang mengharapkan produk/jasa lingkungan yang lebih bersahabat.
Tujuan dari akuntansi lingkungan sebagai sebuah alat manajemen lingkungan dan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat adalah untuk meningkatkan jumlah informasi relevan yang dibuat bagi mereka yang memerlukan atau dapat menggunakannya.
Guna mencapai keberhasilan dalam penerapan akuntansi lingkungan, maka pertama dan utama sekali yang perlu diperhatikan manajemen perusahaan adalah adanya kesesuaian antara evaluasi yang dibuat perusahaan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan. Langkah kedua, menentukan apa yang menjadi target perusahaan dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berdampak pada lingkungan perusahaan serta menyusun suatu perencanaan untuk mengurangi dampak lingkungan. Langkah ketiga, memilih alat ukur yang sesuai dalam menentukan persoalan lingkungan.
Langkah keempat, melakukan penilaian administrasi untuk menetapkan target di masing-masing segmen. Langkah kelima, menghasilkan segmen akuntansi untuk mengukur masing-masing divisi perusahaan. Langkah keenam, melakukan pengujian dimasing-masing devisi. Langkah terakhir adalah melakukan telaah kinerja. Pada telaah kinerja diharapkan dapat menghasilkan segmen akuntansi yang dapat mendukung prestasi manajemen lingkungan dimasing-masing divisi.
Sumber:
·         Disarikan dari buku Akuntansi Lingkungan & Pengungkapannya, oleh Arfan Ikhsan, Graha Ilmu, 2008. – See more at: http://keuanganlsm.com/apa-sebenarnya-akuntansi-lingkungan-itu/#sthash.xOiUIQde.dpuf

Asimetri Informasi



Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal).
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati dkk. (2006), Asimetri Informasi adalah  jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Laporan keuangan memiliki kelemahan tertentu, sekalipun pembuatan laporan keuangan diatur oleh suatu standar yang telah ditetapkan, namun perlu disadari bahwa laporan keuangan mengandung banyak asumsi, penilaian, serta pemilihan metode perhitungan yang dapat digunakan oleh pembuatnya.
Dalam bidang ekonomi, asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. (Sering juga disebut dengan istilah informasi asimetrik/informasi asimetris). Umumnya pihak penjual yang memiliki informasi lebih banyak tentang produk dibandingkan pembeli, meski kondisi sebaliknya mungkin juga terjadi. Contoh situasi dimana penjual memiliki informasi lebih baik ada banyak, termasuk di dalamnya penjual mobil bekas, pialang saham, agen real estate, dan asuransi jiwa. Informasi akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untuk menurunkan asimetri informasi. Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Ketika timbul asimetri informasi, keputusan ungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara investor yang lebih terinformasi dan investor kurang terinformasi menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk saham-saham perusahaan (Komalasari, (2000) dalam Siti, (2004).
Sumber:

GOOD CORPORATE GOVERNANCE



Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
Good corporate governance (GCG) adalah konsep untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan rumah sakit tercapai dengan penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin.
GCG secara definitive merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.
Konsep GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikann dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat tetap eksis dalam persaingan global. Penerapan GCG dalam suatu perusahaan sendiri mempunyai tujuan-tujuan strategis.
Tujuan – tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan.
  2. Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien.
  3. Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga kepentingan para shareholder dan stakeholder perusahaan.
  4. Untuk meningkatkan kontribusi perusahaan (khusunya perusahaan-perusahaan pemerintah) terhadap perekonomian nasional.
  5. Meningkatkan investasi nasional.
  6. Mensukseskan program privat-isasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
Prinsip – prinsip good corporate governance dalam hal ini meliputi:
  1. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
  2. Kemandirian (Independecy), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
  3. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
  4. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat
  5. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan perundang-undangan yang berlaku.
Good corporate governance (GCG) pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good corporate governance dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi peerusahaan danuntuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki segera.
Good corporate governance diperlukan untuk mendorong tercipttanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan good corporate governance perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu Negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Prinsip efisiensi dan penciptaan keuntungan (rente) ekonomi dalam kerangka fungsionalisme ini memang pertama-tama diterapkan dalam prinsip tata kelola organisasi perusahaan. Namun, prinsip tata kelola berbasis cara pandang fungsional juga sering diterapkan pada organisasi lain, seperti lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan bahkan lembaga keagamaan.
Pendekatan fungsionalais yang berorientasi pada efisiensi ini sering disebut seba pendekatan disiplin karena guna menjaga agar efisiensi terus terjaga sehingga keuntungan ekonomi yang tinggi dapat dicapai maka diperlukan disiplin dan pengawasan.
Sumber:
·         Sedarmayanti, 2004, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), Mandar Maju, Bandung.
·         Ridwan Khirandy dan Camelia Malik, 2007. Good Corporate Governance Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, Total Media, Yogyakarta.
·         Prasetyantoko, 2008. Coporate Governance: Pendekatan Institusional, Gramedia, Jakarta.

Tingkat Manajemen Laba



Manajemen laba merupakan tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standard tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan (Scott, 1997: 368).


Manajemen laba dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu ”good side earnings management” dan “bad side earnings management”.
  1. Good side earnings management, manajemen laba dapat dilihat dari dua perspektif yaitu perspektif kontraktual dan perspektif pelaporan keuangan.
  2. Bad side earnings management, terjadi saat manajer menggunakan GAAP untuk melakukan manajemen laba yang terlalu jauh dengan berperilaku oportunistik terhadap kontrak yang ada, sehingga dapat merugikan perusahaan dalam jangka panjang (Handajani et al., 2009).
Peneliti dalam penelitian ini lebih memandang manajemen laba dari sudut pandang bad side earning management. Pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian dalam perusahaan bersamaan dengan asimetri informasi di dalam perusahaan semakin memperluas kemungkinan tindakan oportunistik oleh manajer yang mempunyai tujuan berbeda dengan stakeholders, dan setiap pihak ingin memaksimalkan kepentingannya sendiri. Manajemen laba akan meningkatkan biaya agensi, karena manajer menjaga kepentingannya dengan menerbitkan laporan keuangan yang tidak menunjukkan gambaran ekonomi perusahaan secara akurat, sehingga shareholders atau stakeholders lainnya tidak dapat membuat keputusan investasi yang optimal.
Teori keagenan (agency theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham). Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan agensi dimana terdapat kontrak yang menjadi landasan satu pihak (principal/pemilik) mempekerjakan pihak lain (agent) untuk mengelola perusahaan atas nama perusahaan.
Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan
Wolk et all., (2008: 281-282) mendefiniskan tingkat pengungkapan sebagai berikut tingkat pengungkapan laporan keuangan merupakan informasi yang ada di dalam laporan keuangan maupun komunikasi pelengkap yang mencakup catatan kaki, peristiwa setelah pelaporan, analisis manajemen tentang operasi yang akan datang, peramalan keuangan dan operasi, serta laporan keuangan tambahan.
Jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar ada dua, yaitu:
  1. Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
  2. Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya yang dipandang relevan sebagai dasar untuk membuat keputusan oleh para pemakai laporan tahunan (Suripto dan Baridwan, 1999). Melalui pengungkapan sukarela diharapkan para pemakai laporan akan semakin lengkap informasinya dalam memahami kegiatan operasional perusahaan publik, serta dengan adanya pengungkapan sukarela semakin menunjukkan ketransparan keadaan perusahaan (Prayogi, 2003).
Menurut Sunarto (2003), kualitas pengungkapan laporan keuangan dihitung berdasarkan indeks pengungkapan laporan keuangan. Tingkat pengungkapan laporan keuangan dalam penelitian ini didasarkan atas indeks pengungkapan yang dideskripsikan oleh Benardi (2009).
Indeks pengungkapan yang digunakan didasarkan atas informasi yang tersedia dalam laporan tahunan (annual report). Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu, pemerintah melalui Bapepam juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan, Manajemen Laba dan Kualitas Audit
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada pemegang saham khususnya dan calon investor pada umumnya. Laporan keuangan memberikan informasi yang berguna kepada para pengguna laporan keuangan pada umumnya untuk pembuatan keputusan.
Auditing mengurangi asimetri informasi yang ada antara manajemen dan stakeholders perusahaan dengan memungkinkan pihak di luar perusahaan untuk memverifikasi validitas laporan keuangan. Efektifitas auditing dan kemampuannya untuk mencegah manajemen laba diharapkan akan bervariasi dengan kualitas auditor.
Kualitas audit biasanya dikaitkan dengan ukuran auditor yaitu Big dan non Big. Auditor Big dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor non Big. Auditor yang diklasifikasikan sebagai Big juga dianggap akan lebih mampu membatasi praktek manajemen laba dibandingkan dengan auditor non Big. Hal ini dibuktikan oleh penelitiannya DeAngelo (1981) yang menganalisis hubungan antara kualitas audit dan ukuran auditor. Hasil penelitian menyatakan bahwa auditor besar (Big¬audit) lebih berkualitas dibanding dengan auditor ukuran kecil (non-Big audit). Kecakapan profesional auditor ukuran besar lebih memiliki kemampuan teknikal untuk menemukan pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya dibandingkan dengan auditor ukuran kecil.
Sumber:
  1. http://bikelase.blogspot.co.id/2014/11/pengaruh-tingkat-pengungkapan-laporan.html